Peradilan Indonesia Dalam Masa Jepang


BAB I
PENDAHULUAN

      Secara historis keberadaan lembaga yang melaksanakan fungsi Peradilan Agama sudah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan Islam berdiri. Namun pada waktu itu kewenangan sebagai hakim (qodhi) umumnya dilakukan oleh raja atau Sultan yang sedang berkuasa. Khusus untuk perkara-perkara yang menyangakut agama, Sultan biasanya akan menunjuk seorang ulama untuk melaksanakan fungsi tersebut.
      Dasar yang digunakan untuk memutus perkara biasanya adalah al-Quran dan Hadis serta kitab-kitab fiqh karya para Fuqoha’. Dismping itu, pemutusan perkara juga didasarkan pada hukum adat sebagai living law yang tidak bertentangan dengan al-Quan dan Hadis. Istilah yang digunakan sebagai hukum ini dalam Islam disebut ‘Urf.
      Setelah Belanda pergi dan digantikan oleh Jepang, sistim yang dipakai dalam menjalankan pemerintahan pun tidak jauh berbeda. Bahkan tak jarang bertentangan dengan Peradilan dalam negri karena memang disengaja di buat sedemikian rupa agar tidak jelas, sebab sejak semula pemerintah kolonial memang sangat khawatir terhadap diterapkanya hukum Islam. Hal ini dikeranakan hokum Islam sangat bertentangan dengan ideologi dan agama penjajah. Bagi mereka memberikan hak hidup terhadap hukum Islam sama saja memberikan hak hidup bagi hukum bangsa Indonesia.
























BAB II
PERADILAN ISLAM PADA MASA PENJAJAHAN JEPANG


A.    Bentuk Peradilan
            Peradilan Agama pada masa pendudukan Jepang tidak dapat dilepaskan dari “kebijakan-kebijakan” Belanda sebelumnya. Lebih jauh Daniel S. Lev mengatakan bahwa pendudukan jepang hanya membawa kemajuan dan memperkuat kedudukan Pengadilan Agama yang ada dalam satu atau dua daerah di luar jawa saja, itupun setelah Jepang melihat keuntuangan yang akan diraih(Lev,1972:33). Lebih jauh Anderson menyatakan bahwa pengelolaan negara jajahan baik yang dilakukan Jepangataupun Belanda tidak ada bedanya.[1]
            Menurut Bustanul Arifin, pelembagaan Peradilan Agama di Indonesia adalah berdasarkan keputusan raja No.24 tanggal 19 januari 1882 yang di undangkan dalam Staatsblad (Stb) 1882 No. 152, merupakan akhir intervensi politik terhadap hukum agama Islam karena ia membahayakan praktik hukum kolonial Belanda yang sangat jelas bertentangan dengan hukum islam. Sebagaimana diketahui bahwa Belanda memang tidak netral terhadap urusan agama terutama terhadap Islam. Hal ini bisa di fahami dari kombinasi kontradiktif belanda dimana di satu sisi Belanda sangat takut terhadap ancaman pemberontakan kaum Islam fanatik fundamentalis dan juga adanya harapan yang sangat berlebihan dimana belanda sangat optimistis akan keberhasilan upaya kristenisasi yang diharapkan akan segera menyelesaikan persoalan yang ada.
            Semenara itu disisi lain menurut Lev (1972:28) pelembagaan peradilan bisa dikatakan merupakan sebuah simbol dari kekuasaan hukum Islam -meskipun rapuh- dimana golongan ningrat telah lama berusaha untuk menghapuskanya. Di lain pihak Belanda menganggap bahwa pelembagaan Peradilan Agama ini merupakan “jasa baik”  nya untuk meluruskan praktek “peradilan” yang saat itu berjalan tidak lain untuk memelihara stabilitas kekuasan politik Belanda.
            Sebagaimana diketahui bahwa sebelum adanya Stb. No. 152, praktek peradilan berjalan dalam bentuk dan wadah yang sangat sederhana atau tradisisional. Persidangan dilaksanakan menurut keperluan warga setempat. Pelaksaanya juga hanya dilakukan oleh orang-orang yang dianggap mengerti tentang ilmu-ilmu agama. Ini berarti bahwa pada saat itu untuk menjadi hakim yang di legitimasi oleh warga, hanya diperlukan keahlian di bidang keagamaan. Pengangkatanya pun tidak memerlukan prosedur adminitratif dan datang dari atasan, dimana dengan sendirinya kontrol terhadap hasil keputusan para hakim sulit untuk dilaksanakan, padahal memungkinkan terjadinya perbedaan dalam penyelesaian terhadap masalah yang serupa. Konsekuensi negatifnya adalah timbul ketidak puasan dalam menerima putusan yang kemudian berlanjut dengan sengketa atau bahkan mengabaikan keputusan hakim.
            Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa peradilan agama dengan evolusinya adalah merupakan imlplementasi politik semenjak dikeluarknya Stb. No. 152, sampai proses di undangkanya undang-undang No. 7 tahun 1989. Stb. 1882-152 itu sendiri belum memenuhi struktur masyarakat Indonesia pada saat itu. Para pejabat Peradilan Agama pada saat itu tidak lebih dari “beamte”, yakni petugas yang kepadanya di bebankan tugas-tugas yang bentuknya kurang jelas akan tetapi mempunyai kedudukan yang terhormat dalam pertanggung jawabanya, disamping karena kurang terdidik dan terlatihnya mereka dalam penanganan peradilan agama.
            Peradilan Agamsampai Jepang hengkang sejak adanya reorganisasi dengan Stb. No. 152 secara organisatoris tidak berubah. Ia tidak berdiri sejajar dengan Peradilan Umum (negri). Putusan Peradilan Agama tidak dapat dilaksanakan sebelum adanya fiat eksekusi dari badan peradilan umum.
            Pada tahun 1922 di bentuk badan yang bertugas mencari jalan agar peradilan agama menjadi lebih baik menurut pandanganya. Komisi tersebut berhasil membuat beberapa kesimpulan penting, meliputi:
a)       kasus- kasus yang dimasukkan dalam Peradilan Agama hanya kasus-kasus yang dianggap erat kaitanya dengan hukum Islam, dan kasus-kasus yang berhubungan dengan keabsahan perkawianan, perceraian, mahar dan kewajiban suami untuk menafkahi istrinya.
b)      Peradilan Agama yang terdiri atas ketua dan anggota-anggota yang punya hak suara, selanjutnya harus terdiri atas seorang hakim saja. Hal ini berkenaan dengan kekuasaanQodhi. Hakim harus dubantu oleh dua orang penasehat yang ahli dalam hukum islam.
c)      Untuk menghindari hal-hal yang kurang adil dan meninggikan Perdilan Agama, hakimharus menrima gaji dari bendahara negara.
d)     Pengadilan banding (Mahkamah Tinggi Islam/ Hor Voor Islamietische Zaken) di tetapkan kembali untuk menangani kasus-kasus dari Peradilan Agama ( Lev, 1972:19 )

      Menurut Benda (1980: 91) laporan dari komisi tersebut membuat golongan Islam tidak merasa nyaman. Menurut mereka yang menjadi persoalan adalah inti dari usulan komisi tersebut dan tindakan perundang-undangan selanjutnya yang menyangkut wewenang Peradilan Agama. Walaupun Mahkamah Tinggi Islam sebagai Pengadilan Banding akan di berlakukan sebagai jaminan rasa keadilan, keberagamaan meraka yang tidak surut dengan perselisihan harta benda yang menyangkut wakaf dan warisan kepada “landraad”. Selain alasan ekonomi, menrurut Lev, bagi mereka jika usulan ini diberlakukan, pada dasarnya jika reorganisasi Peradilan Agama itu dapat diberlakukan tanpa di anggap menentang dasar-dasar keimanan, maka pembaruan wewenang mengadili perkaara waris dan wakaf jelas-jelas adalah bentuk penolakan terhadap keadaan yang telah di menangkan Islam.
      Usulan dari komisi tersebut kemudian dijadikan rekomendasi untuk Stb. 1931 tentang peradilan agama dengan beberapa peraturan baru, tetapi tidak dapat dilaksanakan dengan alasan finansial, akan tetapi ini tidak menutup kemungkinan karena ketidak setujuan kalangan Islam saat itu.
      Pada tahun 1937 akhirnya dibuatlah sebuah peraturan baru ( Stb.1937 No.116 ) dengan mencantumkan pasal-pasal yurisdiksinya. Saat itu ditetapkan pula Mahkamah Tinggi Islam dan pemindahan wewenang mengadili perkara waris kepada Pengadilan Negeri (pasal 7 S.1937 No.116 dan 610), serta di berlakukanya ordonansi perkawinan dengan pencatatan perkawinan di catatan sipil. Kerapatan Qodhi besar untuk daerah kalimantan selatan (pasal 19 Stb.1937 No.639 dan 63). Sedangkan bagi daerah di luar Jawa Madura dan Kalimantan selatan masalah Peradilan Agama diserahkan kepada penguasa dan masyarakat setempat yang merupakan bagian dari Pengadilan Adat dan Sultan.
Tidak seperti pemerintahan Belanda yang membuat sentralisasi administrasi di wilayah kekuasaanya di Indonesia, Jepang justru membagi wilayah Indonesia ke dalam tiga zona administrasi, yaitu :
1.      Di Jakarta untuk mengatur Jawa dan Madura.
2.      Di Singapura yang mengatur Sumatera.
3.      Komando Angkatan Laut di Makassar yang mengatur keseluruhan Nusantara di luar tiga pulau yang telah diatur di atas.
sebagai akibat dari pengurangan yang drastis dari jumlah para pegawai Belanda dalam kantor-kantor pemerintahan, perubahan dalam organisasi peradilan juga harus terjadi. Pada tanggal 29 April 1942 pemerintahan bala tentara Dai Nippon mengeluarkan UU No 14 Tahun 1942 tentang Pengadilan Bala tentara Dai Nippon[16] y/ang isinya bahwa Pemerintahan Jawa mengeluarkan beberapa aturan yang dirancang untuk melarang transformasi lembaga peradilan. Sebagai hasilnya, lembaga peradilan yang sekuler didirikan dimana bentuk peradilan lama diubah namanya  dari bahasa Belanda kepada bahasa Jepang. Adapun susunan lembaga peradilan pada masa pendudukan Jepang adalah sebagai berikut[17] :
1.      Tihoo Hooin yang berasal dari Landraad (Pengadilan Negeri).
2.      Keizai Hooin yang berasal dari Landgerecht (Pengadilan Kepolisian)
3.      Kein Hoin yang berasal dari Regetschapsgerecht (Pengadilan Kabupaten)
4.      Gun Hooin yang berasal dari Districtsge recht (Pengadilan Kewenangan)
5.      Kaikoo Kooto Hooin yang berasal dari Hof voor Islamietische Zaken (Mahkamah Islam Tinggi)
6.      Sooyoo Hooin yang berasal dari Priesterrad (Rapat Agama), dan
7.      Gunsei Kensatu Kyoko terdiri dari Tihoo Kensatu Kyoko (Kebijaksanaan Pengadilan Negeri) berasal dari Paket voor Landraden.
Sedangkan Hoogerechtshof  (Saiko Hooin) diunifikasikan menjadi satu lembaga peradilan yang melayani semua golongan masyarakat, sementara Residentiegerecht yang pada masa kolonial Belanda dikhususkan untuk mengadili golongan masyarakat Eropa pada masa penjajahan Jepang dihapuskan. Langkah unifikasi yang dilakukan pada masa penjajahan Jepang tidak hanya pada lembaga peradilan, tetapi juga dalam kantor kejaksaan. Jaksa yang bentukan terdahulu yang bertugas menurut prosedur Hukum Eropa, dan Jaksa Indonesia yang bekerja menurut Landraad, dikombinasikan kedalam Kensatu Kyoku. Jelas saja revolusi ini secara menggebu-gebu disambut oleh pejuang Muslim, terutama di Sumatra, yang senantiasa berharap untuk dapat menjatuhkan dominasi dari para tetua adat bersama pelindungnya, yaitu para pejabat Belanda.


B.     Kebijakan Jepang Terhadap Peradilan Agama
      Hanya sekitar empat puluh bulan lebih dari Maret 1942 sampai Agustus 1945, bekas jajahan Hindia Belanda hidup dibawah penguasaan Jepang. Meski dengan waktu yang sangat singkat, sejarah mencatat bahwa penguasaan Jepangmerupakan masa-masa traumatik yang secara mendasar mempengaruhi banyak aspek kehidupan bangsa Indonesia.
      Disadari ataupun tidak, pada tahap-tahap akhir penjajahan –ketika kekuatan militer semakin memburuk- politik Jepang perlahan memberikan konsesi-konsesi yang lebih besar kepada Indonesia. Jepang tampaknya membentuk poltitk kolonial yang luwes, terutama dengan pertimbangan-pertimbangan dan strategi jangka pendek. Para pemimpinan Islam pada saat itu melihat adanya kesempatan memperoleh hak-hak yang pernah hilang pada tahun 1920 dan 1930 dan bahkan mungkin lebih dari itu.
      Jepang secara mengejutkan dapat membuktikan pemahamanya yang baik terhadap pososi dan pengaruh kelompok-kelompok elit yang saling bersaing satu sama lain, dan dengan sangat mahir memanipulasikan kelompok-kelompok ini demi kepentinganya. Sampai pada kesimpulan ini kita harus melihat bahawa Jepang pada mulanya beranjak dari konservatisme yang meleket dalam controlkolonial Jepang. Dengan demikian pada dasarnya dalam kaintanya dengan Peradilan Agama tidak ada yang cukup berarti sampai dibentuknyDepartemen Agama yang dulu bernama Kementrian Agama pada tanggal 3 Januari 1946 sebagai bukti langsung bahwa Indonesia bukanlah Negara Islam dan bentuk dari kompromi antara kalangan Priyayi Nasionalis di satu fihak dan Islam Nasionalis di fihak lain.
      Bahkan kita melihat sebagai lanjutan dari cepatnya perubahan politik dan sikap “mentolerir’nya Jepang – pertentangan-pertentangan politik pada saat itu semakin tajam, paling tidak, saat itu telah terbentuk secara organisatoris keinginan untuk menghapuskan Perdilan Agama dan melimpahkan wewenang mengadilinya pada Peradilan Umum.
      Puncak pertentangan ini tampak semakin jelas ketika proses pembentukan dasar Negara republik Indonesia. Pertentangan-pertentangn semacam ini selain memang telah ada sebelum Jepang datang, sebenranya merupakan hasil maksimal dari proses Devide et Impera yang dilakukan Jepang untuk memperkuat kedudukanyawalaupun akhirnya Jepang harus merelakan sistem Chek andBalance berakhir sebagai akibat bentuk tumbuh suburnya rasa kebangsaan Indonesia pada umumnya dan pemberian fasilitas yang berbeda terhadap golongan elit Indonesia. Namun sekali lagi karena Islam telah begitu lama berada di Indonesia dan harapan semakin kuatnya pendudukan dengan merangkul golongan Islam teruatama dengan memperhatikan masyarakat pedesaan. Jepang memberikan “perluasan” bagi Islam sepanjang kesemuanya itu menguntungkan Jepang.
      Seperti halnya Masyumi yang berdiri pada bulan Nevember 1943, “tak ayal merupakan kemenangan politik Jepang terhadap Islam” (Benda,1980:185). Dan memang benar secara resmi Masyumi sebagaimana pendahulunya diminta untuk menarik diri dari jenis politik manapun. Dalam hal ini ada dua alasan: Pertama: orang Jepang meningkatkan perwakilan Islam di dalam organ-organ politik yang didirikannya. Kedua: tugas-tugas yang diberikan kepada oerganisasi baru itu terutama yang diberikan kepercayaan secara pribadi kepada anggota-anaggota, ribuan Kyai dan Ulama, di tingakat desa sampai batas-batas yang jauh merupakan usaha politik par excellence. Dalam kenyataanya dia menjamin kekuatan muslim yang tak ada taranya dan berlangsung lama di arena politik Indonesia. Ketiga: Masyumi diberikan tempat utama dalam mekanisme pusat  Djawa hokokai(himpunan kebaktian rakyat atau organisasi pelayanan rakyat di Jawa). Tanpa kehilangan kebebasan organisasinyaOleh karena itu ketua Masyumi Hasyim ‘Asyari dan Ir. Soekarno diangkat sebagai penasehat utama (komon) bagigenseikan (Kepala Pemerintahan Militer) yang mempelajri hokokai sedangkan Mas Mansur dan Moehammad Hatta bertanggung jawab terhadap masalah dalam Negeri umum di pusat. Dengan kata lain sebenaranya Masyumi menjadi bagian dari pemrintahan Jepang (Benda, 1980:185)
      Perkembangan-perkembagan selanjutnya sepanjang berkaitan dengan Islam tampaknya menjadi isu sentral sampai menjelang deklarasi yang penuh dengan kisah. Disamping semakin tajamya pertentangan politik dan proses pemenuhan “janji-janji” yang diberikan Jepang, tampaknya di penuhi masalah krusial yaitu peertentangan politik antar golongan elit Indonesia, yang masing-masing merasa merasa berhak untuk memutuskan.( Benda,1980:185)






BAB III
KESIMPULAN
      Pada dasarnya baik secara historis maupun administratif adalah bahwa kebijakan politik peninggalan pemerintah kolonial Jepang memberikan implikasi yang berarti. Namun demikian jika dipandang dari kacamata perubahan sosial-keagamaan, akan dilihat kemajuan mencolok untuk umat Islam, di bandingkan pada zaman Belanda. Jepang tidak ragu-ragu meningkatkan posisi agama Islam dan memberikan prestise sosial dan secara implisit memberikan prestise politik kepada juru bicaranya di Jawa dan daerah-daerah lainya di Indonesia.
      Perhatianya yang intensif dan dukunganya terhadap Islam, merupakan perbedaan utama praktik-praktik politik Jepang dengan Belanda. Dua perbedaan lainya adalah, pertama: menyangkut korps Priyai yang menjadi penguasa administratif dengan sekian banyak privelesnya pada masa Belanda, telah menjadi berkurang pada masa pendudukan Jepang. Kedua: berkaitan dengan pemimpin gerakan Nasionalis Indonesia. Sesudah bertahun-tahun pembuangan para pemimpinya yang terkemuka, maka elit Nasionalis “sekuler” yang berpendidikan barat sejak awal sekali telah diakui secara resmi oleh Pemerintah Jepang, diangkat ke pos-pos pemerintahan militer, dan diatas segalanya memperoleh prestise sosial(Benda,1980:185)





























DAFTAR PUSTAKA


Ghofur Anshori, Abdul, Peradilan Agama: Pasca Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 (Sejarah, kedudukan, dan Kewenagan), Yogyakarta: UII Press, 2007.
Kamsi, Pemikiran Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia,Yogyakrata: Cakrawala Media, 2008.
[1] . Kamsi, Pemikiran Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta, 2008,  hal, 157.
[2] . ibid,  hal, 161


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »